MAKALAH
Pengantar
Ilmu Administrasi Negara
“Birokrasi
Sosial Politik”
Oleh
:
Di susun oleh:
KUSMIRI
YANTINI
714.1.1.2179
Fakultas
ilmu sosial dan ilmu politik
Universitas
wiraraja sumenep
2014
- 2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada saya, sehingga saya berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Birokrasi Sosial Politik”. Makalah ini berisikan tentang birokrasi
sosial politik yang ada di Indonesia dari masa kolonial samapai masa reformasi.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Sumenep,14
November 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Judul ................................................................................................1
Kata Pengantar ................................................................................2
Daftar isi ..........................................................................................3
Bab I
Pendahuluan
................................................................................1
- Latar Belakang .......................................................................................1
- Rumusan Masalah ..................................................................................3
- Tujuan Penulisan ....................................................................................3
Bab II
Pembahasan ...............................................................................4
- Pengertian Birokrasi .............................................................................4
- Faktor-faktor yang mempengaruhi Birokrasi .......................................5
- Paradigma Birokrasi .............................................................................7
- Fungsi birokrasi .....................................................................................9
- Pengertian Politik ..................................................................................9
- Sejarah birokrasi sejak masa kolonial sampai mas reformasi ..............10
Bab III
Penutup
.....................................................................................22
- Kesimpulan ...........................................................................................22
- Saran .....................................................................................................22
Daftar Pustaka
..............................................................................................24
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Birokrasi
dan politik bagai dua mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan satu sama
lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua buah institusi yang memiliki
karakter yang sangat berbeda, namun harus selalu saling mengisi. Dua karakter
yang berbeda antara dua institusi ini pada satu sisi memberikan sebuah ruang
yang positif bagi apa yang disebut dengan sinergi, namun sering juga tidak dapat dipisahkan dengan aroma
perselingkuhan.
Menurut
Etzioni-Havely birokrasi adalah
organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani
kepentingan umum. Ciri khas yang melekat dalam tubuh birokrasi adalah bentuk
organisasi yang berjenjang, rekrutmen berdasarkan keahlian, dan bersifat
impersonal. Birokrasi juga merupakan unit yang secara perlahan mengalami
penguatan, independen, dan kuat. Penguasaan berbagai sumber daya oleh birokrasi
menjadikan birokrasi menjadi kekuatan besar yang dimiliki oleh negara.
Sedangkan politik merupakan institusi yang disebut juga dengan pusat kekuasaan.
Kekuasaan yang dimiliki oleh politik berlangsung dalam berbagai arena, seperti
pembuatan, penerapan, dan evaluasi kebijakan publik. Dalam arti yang lebih
luas, segala sesuatu yang berkaitan dengan partai, demokrasi, dan kebijakan
disebut juga dengan politik.
Sementara
birokrasi adalah sebuah institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya,
namun pada lain sisi sistem kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor
yang mengepalai birokrasi melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu,
birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap
gugusan masyarakat yang membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa
dilepaskan dari aspek politik.
Pada
gilirannya, birokrasi mau tidak mau harus rela dikepalai oleh mereka yang
umumnya bukan berasal dari kalangan birokrasi. Artinya, kepentingan politik
dengan sendirnya akan turut bermain dalam sistem penyelenggaraan pemerintah.
Persoalan yang mengemuka adalah mampukah kepala daerah memberikan peluang
kepada birokrasi yang dipimpinya dengan arif untuk tetap mengikuti kaidah
demokrasi yang normatif.
Dalam
berbagai macam pola hubungan antara birokrasi dan politik, institusi
politik -sebagaimana diketahui bersama- terdiri atas orang-orang yang
berprilaku politik yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok
kepentingan dan berusaha untuk mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan
melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah secara
langsung ataupun tidak langsung selalu berhubungan dengan kelompok kepentingan
politik tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis mengajukan
rumusannya masalah secara singkat sebagai berikut:
1.
Apakah yang dimaksud dengan birokrasi dan landasan teori birokrasi?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi birokrasi?
3.
Apakah saja paradigma birokrasi dan pasca birokrasi?
4.
Fungsi Birokrasi
5. Apakah yang dimaksud dengan politik?
6.
Bagaimana sejarah birokrasi sejak zaman kolonial sampai zaman reformasi?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk mengkaji kembali bagaimana keadaan serta hubungan
birokrasi dengan politik di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah ini juga
bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari reformasi
birokrasi itu sendiri di Indonesia yang pada kenyataannya belum berjalan secara
efektif.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Birokrasi
Jika dilihat dari
segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro yang artinya
meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen
utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan
hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang
bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan
prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi
berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada
1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara
kerja yang rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995).
Birokrasi dapat dirujuk kepada empat
pengertian yaitu,
ü Birokrasi dapat diartikan
sebagai kelompok pranata atau lembaga tertentu.
ü Birokrasi dapat diartikan
sebagai suatu metoda untuk mengalokasikan sumber daya dalam suatu organisasi.
ü “Kebiroan” atau mutu yang
membedakan antara birokrasi dengan jenis organisasi lain. (Downs, 1967 dalam
Thoha, 2003)
ü Kelompok orang yang digaji
yang berfungsi dalam pemerintahan. (Castle, Suyatno, Nurhadiantomo, 1983)
Birokrasi Menurut Weber
Menurut
Weber demokrasi tidak sama dengan birokrasi di mana dalam birokrasi memerlukan
persyaratan dalam pengangkatan seseorang/pejabat, sedangkan demokrasi
mensyaratkan pemilihan seseorang/pejabat oleh banyak orang, tidak diangkat.
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi (perwakilan).
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi (perwakilan).
Ø Birokrasi ideal menurut weber
Max Weber sebagai bapak birokrasi
mengatakan bahwa birokrasi menjadi elemen penting yang menghubungkan ekonomi
dengan masyarakat. Weber mengajukan sebuah model birokrasi ideal yang memiliki karakteristik sebagai
berikut :
·
Pembagian
Kerja (division of labour)
·
Adanya
prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
·
Adanya
sistem aturan (system of rules)
·
Hubungan
Impersonal (formalistic impersonality)
·
Sistem
Karier (career system)
B.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi birokrasi:
a. Faktor budaya
ü Budaya dan perilaku koruptif
yang sudah terlembaga (“uang administrasi” atau uang “pelicin”)
ü Budaya “sungkan dan tidak
enak” dari sisi masyarakat
ü Masyarakat harus menanggung
biaya ganda karena zero sum game
ü Internalisasi budaya dalam
mekanisme informal yang profesional
b. Faktor individu
ü Perilaku individu sangat
bersifat unik dan tergantung pada mentalitas dan moralitas
ü Perilaku individu juga terkait
dengan kesempatan yang dimiliki seseorang yang memiliki jabatan dan otoritas
ü Perilaku
opportunistik hidup subur dalam sebuah sistem yang korup
ü Individu
yang jujur seringkali dianggap menyimpang dan tidak mendapat tempat
c. Faktor organisasi dan manajemen
ü Meliputi struktur, proses,
leadership, kepegawaian dan hubungan antara pemerintah dan
masyarakat
ü Struktur birokrasi masih bersifat hirarkis
sentralistis dan tidak terdesentralisasi
ü Proses Birokrasi seringkali belum memiliki dan
tidak melaksanakan prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektivitas dan
keadilan
ü Birokrasi juga sangat
ditentukan oleh peran kepemimpinan yang kredibel
ü Dalam aspek kepegawaian,
Birokrasi dipengaruhi oleh rendahnya gaji, proses rekrutmen yang belum memadai,
dan kompetensi yang rendah.
ü Hubungan masyarakat dan pemerintah dalam
Birokrasi belum setara; pengaduan dan partisipasi masyarakat masih belum
memiliki tempat (citizen charter)
d. Faktor politik
ü Ketidaksetaraan sistem
birokrasi dengan sistem politik dan sistem hukum
ü Birokrasi menjadi “Geld Automaten”
bagi partai politik
ü Kooptasi pengangkatan jabatan
birokrasi oleh partai politik
C. Paradigma Birokrasi
Paradigma birokrasi menekankan
pada hal-hal berikut:
1.
Kepentingan
publik, efisiensi, administrasi, dan kontrol, artinya kepentingan publik
menjadi prioritas utama yang harus diperjuangkan oleh birokrasi melalui
penyelenggaraan kerja sama yang efisien dengan pengawasan yang ketat.
2.
Mengutamakan
fungsi, otoritas, dan struktur, maksudnya adalah penerapan fungsi-fungsi
administrasi merupakan landasan utama dalam pencapaian tujuan. Otoritas
(kewenangan) yang dimiliki didapat berdasarkan pelaksanaan fungsi dan struktur
yang ada juga memperoleh penekanan.
3.
Menilai
biaya, menekankan tanggung jawab, artinya biaya diperhitungkan secara ketat
untuk meraih efisiensi sehingga tanggung jawab individu ataupun kelompok mendapatkan
penekanan.
4.
Ketaatan
pada aturan dan prosedur, artinya aturan dan prosedur kerja yang berlaku harus
dijalankan secara konsisten tanpa penyimpangan.
5.
Beroperasinya
sistem-sistem administrasi. Administrasi publik sebagai sistem terdiri atas
subsistem-subsistem. Kegagalan pada subsistem menghambat operasional sistem
secara keseluruhan yang pada gilirannya menghambat pencapaian tujuan.
Paradigma PascaBirokrasi
Michael Barzeley menggunakan istilah post-bureaucratic paradigm untuk
menggambarkan perubahan dri model birokrasi tradisional menuju manajemen publik
modern. Karakteristik konsep manajemen publik modern menurut Barzelay adalah:
1.
Pergeseran
dari kepentingan publik menjadi focus pada hasil dan citizen’s value
2.
Pergeseran
dari efisiensi menjadi focus pada kualitas dan value
3.
Pergeseran
dari administrasi menjadi produksi pelayanan
4.
Pergeseran
dari ketaatan pada aturan (norma) ke focus pada pengendalian
5.
Pergeseran
dari enentuan fungsi, otoritas, dan struktur menjadi focus pada misi, pelayanan
pelanggan, dan outcomes
6.
Pergeseran
dari pertimbanagan biaya menjadi fokus pada pemberian nilai
7.
Pergeseran
dari memaksakan tanggung jawab menjadi membangun tanggung jawab
8.
Pergeseran
dari mengikuti aturan dan prosedur menjadi berfokus pada pemahaman dan
penerapan norma, identifikasi dan penyelesaian masalah, serta perbaikan proses
secara berkelanjutan
9.
Pergeseran
dari pemenuhan sistem administratif menjadi fokus pada pelayanan dan
pengendalian, memperluas ilihan publik, mendorong tindakan kolektif, pemberian
insentif, pengukuran dan analisia hasil kerja.
D.
Fungsi birokrasi menurut Tjokrowinoto menyatakan ada 4 yaitu :
1. Fungsi instrumental,yaitu
menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan public dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk
memproduksi jasa,pelayanan ,komoditi,atau mewujudkan situasi tertentu.
2.
Fungsi politik,yaitu member input berupa saran, informasi, visi ,dan profesionalisme
untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan.
3.
Fungsi katalis Public Interest,yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
public dan mengintegrasikan atau menginkorporasikannya di dalam kebijaksanaan
dan keputusan pemerintah
4.
Fungsi Entrepreneural, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan
inovatif dan non rutin, mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan
menciptakan resources –mix yang optimal untuk mencapai tujuan
(Feisal tamin,2002)
E.
politik
1. Pengertian Politik
Politik
adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya
penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Di samping itu
politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
ü politik adalah usaha yang
ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik
Aristoteles)
ü politik adalah hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
ü politik merupakan kegiatan
yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
Dalam konteks
memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah
pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
F.
Sejarah Birokrasi sejak Masa Kolonial Sampai Reformasi
1.) Model
Negara dan Birokrasi Pasca Kolonial.
Model ini
diperkenalkan oleh Anderson (1983). Menurutnya, negara dan birokrasi merupakan
kelanjutan dalam pola-pola tertentu yang berasal dari negara kolonial
sebelumnya. Dalam hal demikian, model ini mirip dengan konsep negara
Beamstenstaat (negara pegawai) versi McVey, yang menunjuk adanya persamaan gaya
politik pemerintahan (masa Orde Baru) dengan gaya pemerintahan kolonial
Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya memperlihatkan
ciri-ciri yang sama dalam hal perhatiannya terhadap proses administrasi
daripada terhadap proses politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi.
Sehingga negara menjadi mesin birokrasi yang efisien (the state as efficient
bureaucratic machine) Tetapi, berbeda dengan McVey yang lebih menekankan
gejala-gejala di permukaan, Anderson lebih menukik dengan memberikan penjelasan
teoritis tentang kontradiksi yang tajam antara negara dan bangsa.
Kontradiksi
itu terjadi antara kepentingan-kepentingan negara di satu pihak dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih populis, partisipatoris, dan
representatif pada pihak lain. Dalam dua kutub kepentingan terbentang spektrum
luas.
Pertama: kutub
kepentingan negara secara penuh mensubordinasikan kepentingan-kepentingan
partisipatoris (seperti pada situasi rezim militeris atau kolonialis).
Kedua: pada kutub yang lain, keadaan ketika negara
mengalami disintegrasi, dan kekuasaan sedang bergeser kepada organisasi ekstra
negara yang berbasis suka rela dan massal, seperti halnya dalam studi revolusi.
Dalam
perspektif modernisasi, model negara pasca kolonial memiliki dua varian.
Pertama: model ini seharusnya bersifat netral, mewakili
kepentingan umum, dan tidak terkait dengan kepentingan-kepentingan golongan
tertentu. Karena itu, para pendukungnya, terutama yang duduk dalam
pemerintahan, adalah figur-figur modern yang memiliki keahlian tertentu, atau
dengan kata lain para teknokrat.
Kedua: ketika harapan-harapan idealistik dalam varian
pertama mulai dilaksanakan, tugas utama negara pasca kolonial dalam mendukung
pembangunan nasional adalah menciptakan tertib politik. Stabilitas suatu
negara berfungsi sebagai prasyarat kelangsungan suatu bangsa. Maka,
"modern" atau "tidak modern" suatu bangsa bukan ditentukan
oleh ada tidaknya lembaga, mekanisme, atau nilai-nilai demokrasi,
melainkan pada kemampuannya menciptakan dan memelihara stabilitas sosial,
politik, dan ekonomi.
2)
Birokrasi Pada Masa Kemerdekaan :
Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari
format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa
pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi
kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan pandangan yang terjadi
diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan
didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah
disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.Pada masa awal
kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan ini
yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi.
Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan
konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah.
Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada
saat itu.Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang
telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian
dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai
yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi
dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.Selain perubahan bentuk
Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja
pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi
sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat
itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan
partai politik yang kuat pada masa itu.Banyak kebijakan atau program birokrasi
pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang
berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam memandang model
birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai
bureaucratic polity.
Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari
kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari
politik dan pertahanan . Jika melihat peta politik pada masa orde
lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur
segala kebijakan baik Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit
berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson,
Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai
bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai
birokrasi patrimonial.
Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh
Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakankehidupan politik yang
tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic partysystem diistilahkan
oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle,kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor
kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3)
birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan
yang tepat.
3) Birokrasi Pada
Masa Orde Lama
Birokrasi di Indonesia mengalami sejarah yang cukup panjang
dan beragam, sejak masa kemerdekaan tahun 1945. Pada masa awal
kemerdekaan, ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana
politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini beralasan karena
hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang dapat menjangkau rakyat sampai ke
desa-desa. Semangat kejuangan masih sangat kental mewarnai birokrasi di Indonesia.
Para birokrat masih menggelora semangatnya untuk berjuang demi negara dan
persatuan bangsanya, sehingga tidak jarang kelompok mayoritas mau mengalah
terhadap minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa.
Semangat primordial untuk sementara dapat dikesampingkan oleh semangat
nasional. Satu-satunya organisasi politik yang bersifat primordial yang
mengancam negara dan bangsa Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mereka melakukan pemberontakan untuk menguasai birokrasi pemerintah dan sekaligus
mengganti pemerintah yang sah. Pada perjalanan masa berikutnya, birokrasi di
Indonesia mulai dihinggapi oleh aspirasi primordial yang kuat. Birokrasi
Pemerintah mulai menjadi incaran dari kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai birokrasi pemerintah.
Bahkan pada antara tahun 1950-1959, birokrasi pemerintah berada dibawah
kepemimpinan partai politik yang menjadi mayoritas di lembaga DPR. DPR
menjadi kuat, tapi sebaliknya lembaga eksekutif di mana birokrasi sebagai
pelaksana politik menjadi semakin lemah.
Hal demikian diakibatkan oleh parta-partai politik yang berdiri pada waktu
itu sebagai akibat dari adanya Maklumat 3 Nopember 1945 yang memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai
dengan aspirasinya. Akhirnya partai-partai beramai-ramai ingin menguasai
berbagai departemen maupun kementerian, bahkan tidak jarang terjadi jatuh
bangunnya Kabinet pemerintah hanya dikarenakan oleh tidak meratanya
pembagian kementerian yang diinginkan oleh partai-partai. Pada masa ini pula
birokrasi mempunyai loyalitas ganda; satu segi kepada partai politik yang
didukungnya dan pada sisi lain kepada masyarakat yang dilayaninya.
Kemudian pada masa antara tahun 1960-1965 birokrasi menjadi incaran kekuatan
politik yang ada. Pada saat itu ada tiga kekuatan politik yang cukup besar
yaitu, nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) yang berusaha berbagi wilayah
kekuasaan atau kaplinganya pada berbagai Departemen. Di bawah label Demokrasi
Terpimpin, tiga kekuatan politik tersebut membangun akses ke birokrasi
pemerintah. Keadaan sistem politik yang primordial membawa pengaruh kuat
terhadap birokrasi, sehingga birokrasi pemerintah sudah mulai nampak
ke-pemihakannya kepada kekuatan politik yang ada. Lebih tepat dapatdikatakan
bahwa birokrasi saat itu sudah terperangkap ke dalam jaring perangkap yang
dipasang oleh kekuatan politik Nasakom.
4) Birokrasi Pada
Masa Orde Baru
Pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era
pemerintahan Soeharto), birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada
kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini Golkar. Salah satu faktor
yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali pemilu (sampai 1997) adalah
karena peranan birokrasi yang cukup kuat. Kesadaran politik di masa awal
kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat
ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut. Politik floating-mass
(masa mengambang) men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh wilayah
pelosok desa-desa di tanah air kita ini.
Pada masa orde baru tersebut terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi
sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai
instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu.Seperti dalam pandangan
William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif,
merupakan pelaku utama transformasi meski puntidak penuh model pemerintahan
yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi
dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu.
Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar.
Meskipun pada awalnya, Golkar tidak
ingin disebut sebagai partai,tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun
permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia
adalah partai politik.Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum
terlaksana. Misalnya, saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih
saja berbelit-belit danmemerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi
karena ada pungutan- pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih
sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan.
Hal ini merupakan
potensi kemenangan yang diraih Golkar untuk menguasai birokrasi, apalagi
birokrat diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya (menjadi peserta pemilu)
yang pilihannya tidak ada lain kecuali harus memilih Golkar sehingga dengan
demikian birokrasi identik dengan Golkar. Dengan menggunakan model 3 jalur yang
dikenal dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan keluarga Golkar) semakin jelas
mengisyaratkan bahwa birokrasi sudah terpolitisir oleh satu kekuatan politik
tertentu. Mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur dengan segala jajaran di
bawahnya duduk di kepengurusan Golkar menunjukkan betapa sulitnya membedakan
antara pemerintah (birokrasi) dan politik (Golkar).
KORPRI yang diharapkan menjadi wadah
aktivitas kedinasan seluruh pegawai negeri yang keberadaannya tidak
berafiliasi kepada satu kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya
mem-pertahankan kenetralannya manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya
kekuatan sosial politik yang mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan
politik yang lain hanya berada di luar garis. Angin reformasi mulai bergulir
sejak rezim Soeharto jatuh, dan muncul Habibi menggantikannya. Namun kondisi
birokrasi di Indonesia tidak jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya
Habibi (1998) menggantikan Soeharto adalah didukung sepenuhnya oleh Golkar.
Kemudian Habibi digantikan oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa baru
dibidang pemerintahan termasuk birokrasi, karena pemerintahan Gus Dur disusun
atas dasar kompromistis dari hampir semua kekuatan politik yang ada sehingga
memunculkan apa yang kemudian dikenal dengan Kabinet Persatuan Nasional atau
Kabinet Gotong Royong, di mana para menteri yang duduk di dalamnya terdiri dari
unsur partai politik besar yang memperoleh suara signifikan dalam pemilu 1999.
Dari
sinilah kemudian wacana tentang birokrasi menjadi marak kembali. Salah satu
bentuk gerakan reformasi adalah reformasi di bidang birokrasi. Reformasi
birokrasi sebagai bagian dari reformasi administrasi, walaupun menyangkut
dimensi yang luas dan komplek namun memiliki tujuan yang jelas yaitu
meningkatkan administrative performance dari birokrasi pemerintah. Agenda
kebijakan reformasi birokrasi diarahkan untuk memperbaiki kinerja administrasi
baik secara individu, kelompok maupun institusi agar dapat mencapai tujuan
kerja mereka lebih efektif, lebih ekonomis, dan lebih cepat. Jelasnya, bahwa
pandangan ini lebih spesifik lagi ditujukan pada penyempurnaan struktur
birokrasi dan perubahan perilaku aparatnya menjadi conditio sine
qua non bagi upaya peningkatan kinerja birokasi pemerintah.
Siagian (1983) melihat pentingnya arah reformasi
administrasi di Indonesia lebih ditujukan kepada pengembangan administrative
infrastructure yang meliputi pengembangan aparat birokrasi, struktur
organisasi, sistem dan prosedur kerja. Sedangkan menurut Tjokroamidjojo (1985)
ketika menganalisis administrasi pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah
reformasi birokrasi perlu ditujukan ke tujuh wilayah penyempurnaan administrasi
yaitu: penyempurnaan dalam bidang pembiayaan pembangunan; penyempurnaan
dalam bidang penyusunan program-program pembangunan di berbagai bidang ekonomi
dan non-ekonomi dengan pendekatan integrative (integrative approach);
re-orientasi kepegawaian negeri kearah produktivitas, prestasi dan pemecahan
masalah; penyempurnaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah;
administratif partisipatif yang mendorong kemampuan dan kegairahan masyarakat;
kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses
pembangunan; dan bersihnya pelaksanaan administrasi negara (good governance)
5) Birokrasi Era
Reformasi
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula
dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial,
ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi
dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera
dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya
krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan
terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan
sebagaimana birokrasi di Negara - Negara maju tampaknya masih sulit untuk
diwujudkan. Osborne dan Plastrik ( 1997 ) mengemukakan bahwa realitas sosial,
politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara - Negara yang sedang berkembang
sering kali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat
di negara maju.
Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana
kondisi birokrasi di Negara - Negara berkembang saat ini sama dengan
kondisi birokrasiyang dihadapi oleh para reformis di Negara - Negara maju pada
sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti
merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem
Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih
banyak berdasarkan hubungan personal dari pada faktor kapabilitas, serta
birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit
untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang
terdapat di banyak Negara berkembang,
termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi,tampaknya
belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi diIndonesia.
Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus
Brunei Gate dan Bulog Gate setidak - tidaknya memperlihatkan bahwa
pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak
transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya
bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang
efektif bagi kepentingan - kepentingan golongan atau partai politik
tertentu. Terdapat pula kecenderungandari aparat yang kebetulan memperoleh
kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain
dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.
Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya
penyimpangan-penyimpangan lain berikut, seperti :
ü
Maraknya
tindak KKN
ü
Tingginya
keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap
masyarakat tidak maksimal
ü
Pelayanan
publik yang diskriminatif
ü
Penyalahgunaan
wewenang
ü
Pengaburan
antara pejabat karir dan non-karir
6) Reformasi Birokrasi
Masa birokrasi harus merupakan bagian dari
reformasi sistem dan proses, administrasi negara. Dalam konteks (SANKRI),
reformasi administrasi negara dan birokrasi di dalamnya pada hakikinya
merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi.
Dalam hubungan itu, reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan
akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna,
bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan
sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good
governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan
karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan
prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekuti, legislatif, maupun
yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good
governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur
negara, dunia usaha, dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut
adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos
kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan pula perubahan
perilaku yang sesuai dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum
yang efektif” (effective law enforcement), serta pengembangan dan penerapan
sistem dan pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara
berdayaguna dan berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada
posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik” (public
servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan
langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang
mengedepankan “netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan
mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama
dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen dan
pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah. Untuk memperbaiki cara kerja
birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah peran
akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota organisasi yang beragam
sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai kemajuan dalam mewujudkan
cita-cita dan tujuan NKRI.
Selanjutnya, diperlukan sosok pemimpin yang
memiliki komitmen dan kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara
tepat, termasuk dalam penyusunan agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan
dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan
dan daya saing bangsa. Dalam rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural,
seperti independensi sistem peradilan dan sistem keuangan negara, disertai
upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik. Untuk
memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan
memberikan sanksi kepada pelakunya (law enforcement).
Di samping
itu perlu dilakukan kampanye kepada masyarakat agar korupsi dipandang sebagai
penyakit sosial, tindakan kriminal yang merupakan musuh publik. Pers sebagai
kontrol sosial harus diberi kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkap
dan memberitakan tindak korupsi. Pengembangan budaya maIu harus disertai
dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah individu dalam dirinya (quilty
feeling).
Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu
keranka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan politik. Tujuannya
adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap
proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat pemberantasan
korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan yang independen,
didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang efektif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan
kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal ini
mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan
dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha.
Dalam peta tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur negara
dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas.
Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan
yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini
masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta
antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat
dibendung lagi. Oleh karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus
terus dijalankan demi terciptanya pelayanan prima bagi masyarakat seperti yang
telah dilakukan oleh departemen keuangan.
B. Saran
Untuk memayungi
reformasi birokrasi, diupayakan penataan perundang-undangan, antara lain dengan
menyelesaikan rancangan undang-undang yang telah ada. Dengan demikian, proses
reformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara
hukum dalam pelaksanaannya.
Untuk membangun
bangsa yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat
dalam menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able government ke better
government dan trust government. Selain itu, diharapkan masyarakat
dapat lebih partisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip
good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan
korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
www.wikipedia.com, Pengertian Birokrasi menurut beberapa ahli.
*Kumpulan artikel politik. 2011
Agung, Anak
Agung Gde Putra,2001, Peralihan Sistem Birokrasi dari
Tradisional
ke Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Laporan
Penelitian, Perkembangan Sejarah Birokrasi di Indonesia,Agus Suryono PENDEKATAN KULTURAL DAN STRUKTURAL
DALAM REALITAS BIROKRASI DI Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar